expr:id='"post-" + data:post.id'>
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih "melepas" Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang disebutnya sebagai salah satu menteri terbaik di kabinetnya. Sri Mulyani diizinkan menerima "pinangan" Bank Dunia untuk duduk sebagai salah satu direktur pelaksana yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat.
Keputusan ini memunculkan kontroversi di tengah pengusutan kasus Bank Century yang turut membawa Sri Mulyani dalam pusarannya. Mantan anggota Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Maruarar Sirait, mengatakan, jika Presiden memang beranggapan bahwa beliau masih membutuhkan Sri Mulyani, maka seharusnya Presiden tak melepasnya begitu saja.
"Kalau dia (Sri Mulyani) memang dibutuhkan negara, Presiden kan bisa menolak melepas Sri Mulyani. Ini kan tidak. Dilepas begitu saja. Padahal, masih banyak persoalan yang menggantung," kata Maruarar, Kamis (6/5/2010) di Gedung DPR, Jakarta.
Mantan anggota Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century asal Fraksi Partai Hanura, Akbar Faisal, juga mempertanyakan hal yang sama. Ia melihat, informasi tiba-tiba bahwa Sri Mulyani akan mundur untuk memilih hengkang ke Amerika Serikat menjadi tanda tanya.
"Ini pengalihan isu. Kita tiba-tiba digiring untuk melihatnya secara personal. Kalau tidak ada apa-apa di sini, kenapa harus keluar (negeri)? Apa kurang terhormat jabatan Menteri Keuangan? Katanya nasionalis?" ujar Akbar.
Selain itu, lanjutnya, tawaran sebagai salah satu direktur pelaksana Bank Dunia sempat mampir satu tahun lalu. "Tawaran sudah datang sejak setahun lalu. Tapi kenapa baru sekarang, saat tengah disoroti masalah hukum?" tanyanya.
Akbar menambahkan, jabatan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bukanlah jabatan yang prestisius. "Orang yang mengatakan World Bank hebat adalah mereka yang mendapat uang dari proyek World Bank. Jabatan Ibu Sri Mulyani juga dijabat oleh mantan Menkeu dari Nigeria dan New Zealand. Jadi, sesuatu yang biasa, bukan luar biasa. Ada vonis politik terhadap beliau yang tengah diproses di ranah hukum. Seharusnya diselesaikan dulu," kata dia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment